Eksistensialisme dan Pertanyaan Manusia akan Keberadaannya

Eksistensialisme merupakan sebuah aliran filsafat yang mendalami permasalahan tentang keberadaan manusia serta makna dari akal, perasaan, dan cara berperilaku manusia. Para filsuf yang terjun kedalam eksistensialisme biasanya mendalami tentang bagaimana seorang manusia memiliki makna, tujuan, dan nilai dalam hidupnya.

Eksistensialisme sendiri berkembang di Eropa di abad ke-19 hingga ke abad ke-20. Beberapa figur filsuf yang sering dikaitkan dengan perkembangannya adalah Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Pada saat itu eksistensialisme berkembang dari pemikiran beberapa filsuf yang punya pemikiran yang sama tentang subjek kemanusiaan. Para filsuf di generasi awal perkembangan eksistensialisme juga mempunyai kritik yang sama terkait dengan filosofi rasionalisme.

Di abad ke-20, banyak tokoh yang mulai terjun ke bidang filsafat eksistensialisme, sebut saja di antaranya ada Jean-Paul Sartre dan partner-nya Simone de Beauvoir, serta Albert Camus. Munculnya eksistensialisme di abad ke-20 tidak terlepas dari perang yang terjadi di abad tersebut. Karena pengaruhnya di abad ke-20 tersebut, hingga saat ini, eksistensialisme masih menjadi aliran filsafat yang terkenal.

Sejarah Makna Eksistensialisme



Eksistensialisme sendiri berasal dari bahasa prancis “l’existentialisme” yang dikemukakan oleh seorang filsuf katolik Gabriel Marcel. Sebenarnya, penggunaan nama tersebut ditolak oleh Sartre, namun pada akhirnya ia berubah pikiran dan setuju untuk menggunakan nama tersebut.

Pada 1945, Sartre mempublikasi sebuah buku yang diberi judul “L’existentialisme est un humanisme” yang membawa pemikiran para eksistensialis ke dalam sebuah karya sastra.

Nama eksistensialisme sendiri sebenarnya tidak mencakup keseluruhan pemikiran para eksistensialis di dalamnya. Banyak yang beranggapan bahwa eksistensialisme hanya merujuk pada sebuah gerakan yang terjadi di tahun 1940-an hingga 1950-an yang diasosiasikan dengan pemikiran para tokoh pada saat itu seperti Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus.

Namun, ada beberapa yang mengaitkannya dari awal pengembangannya dengan Kierkegaard, bahkan beberapa ada yang juga mengaitkannya dari zaman filsuf Yunani Kuno seperti Socrates.

Sejarah Perkembangan Eksistensialisme

Sebelum abad ke-19, perkembangan eksistensialisme sendiri sering dianggap sebagai salah satu nilai kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Eropa. Meskipun nama “Eksistensialisme” masih belum digunakan, namun inti dari pemikiran-pemikiran yang hadir di masa itu dapat dibilang sama, yaitu untuk mencari tahu tentang keberadaan manusia di dunia ini.

Para pakar filsafat seperti William Barrett dan Jean Wahl memiliki pendapat masing-masing mengenai siapa saja yang mengembangkan eksistensialisme di masa lampau. Pendapat Barrett orang-orang tersebut contohnya adalah Blaise Pascal dan Søren Kierkegaard. Sementara itu Wahl memberikan pendapat lain, Ia menganggap salah satu karya Shakespeare, “Prince Hamlet”, sebagai salah satu awal dari pemikiran eksistensialis dengan kata-kata “to be or not to be”. Wahl juga berpendapat Jules Lequier, Thomas Carlyle, serta William James sebagai seorang eksistensialis.

Abad ke-19 menjadi sebuah masa awal dimana pada zaman tersebut eksistensialisme mulai dipopulerkan terutama oleh dua tokoh terkenal, yaitu Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche.

Pada saat itu, Kierkegaard dan Nietzsche berfokus pada tantangan manusia dalam menghadapi hidup yang tidak memiliki makna, sama seperti pemikiran dari Blaise Pascal. Namun, terdapat sebuah perbedaan antara pemikiran Kierkegaard dan Nietzsche dengan Pascal, yaitu pentingnya peran dalam kebebasan untuk memilih, terutama terkait dasar dari nilai dan kepercayaan, mereka berdua percaya bahwa kebebasan dalam memilih tersebut dapat mempengaruhi pembentukan karakter seseorang.

Meski terkesan kompak dan sempat berdiskusi bersama, pandangan Kierkegaard dan Nietzsche sebenarnya memiliki perbedaan dalam perkembangannya. Kierkegaard memiliki konsep kinght of faith dimana seseorang telah menjalin hubungan dirinya dengan Tuhan serta dapat hidup bebas dan mandiri terlepas dari tuntutan duniawi. Sementara itu, Nietzsche menilai bahwa tujuan yang berbau agamis merupakan sebuah hal yang tidak mungkin dicapai oleh seorang manusia, selain itu ia juga berpendapat bahwa tujuan agamis didasarkan dengan paradoks logika.

Eksistensialisme, Peperangan, dan Abad ke-20



Memasuki abad ke-20, eksistensialisme menjadi lebih terkenal akibat adanya peperangan besar yang terjadi bukan hanya sekali, namun dua kali. Peperangan global yang terjadi pada saat itu bukanlah sebuah peperangan konvensional yang setiap orang pikirkan dengan jumlah korban lebih dari 100 juta orang bila kedua perang tersebut digabung. Hal ini belum termasuk kerugian materiil yang dialami oleh setiap negara yang terlibat.

Banyak filsuf mulai mendalami eksistensialisme di awal abad ke-20, atau sebelum perang dunia kedua terjadi. Contohnya adalah Gabriel Marcel pada tahun 1925 dengan esainya yang berjudul “Existence and Objectivity” serta pada tahun 1927 dengan “Metaphysical Journey”.

Bagi seorang filsuf yang dramatis seperti Marcel, ia menemukan bahwa titik mulainya metaphysical alienation bagi seorang manusia adalah ketika manusia mencari harmoni dalam kehidupannya.

Ada juga seorang psikolog dan filsuf asal Jerman yaitu Karl Jasper yang juga menyatakan pendapatnya tentang eksistensialisme. Ia sendiri mendeskripsikan eksistensialisme sebagai sebuah “bayangan” yang lahir dari masyarakat. Dia menamai teorinya sendiri dengan nama “Existenzphilosophie”. Baginya Existenzphilosophie merupakan cara berpikir seseorang, dimana seseorang tersebut mencari jati dirinya, cara berpikir yang tidak mengenal apa itu benda, melainkan membuat sebuah wujud nyata sebagai seorang pemikir.

Setelah perang dunia kedua terjadi, manusia kembali berusaha untuk memulihkan diri setelah dihantam oleh peperangan paling besar dalam sejarah manusia. Pada masa inilah, Jean-Paul Sartre muncul ke permukaan sebagai seorang tokoh yang terkenal bergerak dalam gerakan eksistensialisme.

Meski Sartre telah memulai gerakannya di tahun 1938, namun ia baru mendapat perhatian publik yang masif pada tahun 1943, setelah okupasi Jerman di tanah Prancis telah berakhir. Nama eksistensialisme yang kita kenal saat ini pun mulai digunakan oleh Sartre pada masa ini setelah direkomendasikan oleh Gabriel Marcel.

Albert Camus yang pada saat itu merupakan seorang editor untuk koran sayap kiri Prancis bernama “Combat” dan Sartre menerbitkan sebuah jurnalnya yang juga cenderung ke sayap kiri berjudul “Les Temps Modernes” memulai awal dari kepopuleran eksistensialisme. Dari kedua hal tersebutlah, cara Camus dan Sartre menyebarkan eksistensialisme hingga membuat mereka terkenal seantero dunia. Beauvoir menjelaskan keadaan mereka pada saat itu bahwa mereka tidak pernah berhenti diliput oleh koran.

Eksistensialisme terus berkembang semenjak dipopulerkan oleh Sartre dan yang lain pasca perang dunia kedua. Pada tahun 1947 karya Sartre mulai dipublikasikan seperti novelnya yang berjudul “The Plague”, dan Beauvoir dengan “The Blood of Brothers” miliknya. Beberapa tahun setelahnya, Beauvoir terkenal menjadi seorang tokoh yang bergerak dalam gerakan feminisme, karyanya yang terkenal adalah “The Second Sex” dan “The Ethics of Ambiguity”.

Albert Camus sendiri meskipun menjadi seseorang yang mengusulkan nama eksistensialisme untuk dipakai, ia sendiri tidak ingin dibilang sebagai seorang eksistensialis. Ia lebih suka dikenal sebagai seorang nihilis. Ialah yang mengibaratkan kehidupan seperti Sisyphus yang terus mendorong batu ke atas gunung. Camus sendiri berpendapat bahwa keberadaan seseorang tidak memiliki arti hingga mereka menemukan arti dan tujuan dalam hidupnya.

Eksistensialisme dalam Karya Sastra

Selain dalam ilmu filosofi, eksistensialisme juga memiliki pengaruh dalam bidang lainnya, contohnya dalam bidang sastra. Sebelum Sartre memulai untuk menulis karyanya sendiri, buku berjudul “Journey to the End of the Night” karya Louis-Ferdinand Céline (1920) menjadi sebuah karya sastra berisikan filosofi eksistensialisme yang nantinya ditemukan di berbagai karya modern.

Selain Sartre dan Beauvoir, banyak penulis yang juga turun ke filosofi eksistensialisme seperti Albert Camus, Franz Kafka, Hermann Hesse, Ralph Ellison, dan Luigi Pirandello. Nama-nama tersebut merupakan nama author dari beberapa karya yang memuat filosofi eksistensialis dan proto-eksistensialis.

Penulis  : Dzakwan Ahmad F.S

Editor    : Tim Half-Blood French


Sumber :

Lavrin, Janko. 1971. “Nietzsche: A Biographical Introduction.”, Charles Scribner's Sons.

Sartre, Jean-Paul. 1946. “L'Existentialisme est un Humanisme”, Edition Nigel.

Wahl, Jean André. 1949. “A Short History of Existentialism”. New York: Philosophical Library.

Aronson, Ronald. 2004. “Camus and Sartre”, University of Chicago Press.


Commentaires

Enregistrer un commentaire

Posts les plus consultés de ce blog

Écriture Féminine dan Pengaruhnya di Prancis

Pemaknaan Aliran Absurdisme dalam Buku L’Étranger karya Albert Camus