Surealisme : Kritik Keagungan dari Persepsi Seni


Surealisme merupakan salah satu aliran kesenian. Surealisme identik dengan gayanya yang nyentrik dan tidak biasa. Aliran ini sudah ada sejak abad dua puluh. Namun diyakini sebelum Surealisme berkembang telah muncul lebih dulu Dadaisme. Dadaisme sebagai induk Surealisme lahir di wilayah Zurich, Switzerland selama masa perang dunia I. Gerakan Dadaisme terus berkembang hingga akhirnya kehilangan keseimbangannya di akhir perang dunia II. Para seniman yang menganut aliran ini bermigrasi ke wilayah Amerika. Dadaisme kemudian berakhir namun inti ajarannya tetap hidup yang kelak menjadi Surealisme. 

Setiap seni adalah hasil dari periodisasi sejarah. Seni muncul sebagai gambaran situasi kondisi yang terjadi kala itu. Tidak berbeda dengan Surealisme yang lahir di tengah kecamuk peperangan dunia. Di kala umat manusia sedang dilanda derita dan keputusasaan mereka butuh pelarian dari realita yang begitu menyedihkan. Surealisme adalah wujud kontradiksi antara mimpi dengan realita yang terjadi. Manusia kala itu memiliki pengharapan bahwasanya situasi akan berubah menjadi lebih baik. Hasrat yang mereka miliki bukanlah hasrat tabu yang ditafsirkan menjadi hal negatif. Surealisme menjadi wadah keinginan batin terdalam yang sulit untuk diwujudkan dengan realita. Perwujudan itu dapat terkendala oleh situasi yang sulit, trauma masa lalu yang pelik maupun persepsi masyarakat. 

Selain menjadi wadah pelarian batin, Surealisme juga menjadi kritik bagi kaum menengah ke atas kala itu. Para Surealis beranggapan bahwa kaum menengah ke atas terlalu dimabuk zona nyaman hingga tidak lagi memperdulikan eksistensi seni yang lain. Seni kala itu dipatok menjadi sesuatu yang mahal. Sesuatu yang hanya layak dan mampu dinikmati oleh kalangan atas saja. Bukan karena kemampuan materil semata, kaum bangsawan dianggap lebih intelek untuk suatu seni yang agung. Kaum rendahan seperti petani, pekerja buruh kasar dan budak dianggap haram untuk menikmati kesenian bahkan hanya sekadar mengagumi saja. Hal inilah yang membuat Surealis bergejolak untuk mengubah gambaran besar dari apa itu seni. Mereka ingin seni menjadi produk hiburan yang merakyat apapun itu baik karya sastra, seni rupa maupun seni drama. 

Salah satu tokoh Surealis yang terkenal adalah René Magritte. René Magritte merupakan seniman kelahiran Belgia. Beliau adalah salah satu seniman terkemuka dengan ciri khas padu padan lukis dari segala aspek. Beliau memadukan antara kemewahan, bahaya, komedi dan misteri ke dalam suatu objek di luar nalar seni manusia. Karyanya kerap menggunakan simbol-simbol tertentu seperti tubuh wanita, pria borjuis yang kerdil, topi bowler, apel, batu, jendela dan benda-benda biasa lainnya. René Magritte menempatkan benda-benda biasa tersebut ke dalam situasi yang tidak biasa atau aneh. Meski demikian, kemampuan realitas pandang yang beliau tuangkan dalam karya seni patut mendapat pujian. Tidak semua seniman mampu mengkombinasikan elemen-elemen yang bertolak belakang dalam satu frame. Seperti salah satu karyanya yang terkenal yaitu The Treachery of Images. Karya tersebut selesai dilukis oleh René Magritte pada tahun 1929 dan menjadi salah satu karya paling ikonik. Di usianya yang masih terbilang muda yakni tiga puluh tahun, René Magritte telah membuktikan bahwa Ia adalah seorang master seni kontemporer. Para Surealis pada masa itu terpecah menjadi sastra dan rupa. Sastrawan Surealis merasa bahwa kekuatan surealisme lebih terasa di karya tulis seperti puisi maupun prosa. Mereka menganggap lukisan surealisme tidak sepenuhnya surealisme. Untuk itu René Magritte berusaha mematahkan persepsi tersebut melalui The Treachery of Images. 

Filosofi dari The Treachery of Images berasal dari kalimat ceci n’est pas une pipe yang berarti ini bukanlah pipa. Visualisasi objek lukis The Treachery of Images sendiri adalah sebuah pipa. Lalu apakah makna tersembunyi dari kontradiksi visual dan tulisan yang menyertainya?. Setiap orang pasti akan merasa bingung dengan The Treachery of Images. Kejelasan visual dan kata-kata yang menyertainya sudah tidak perlu dipertanyakan. Namun adakah orang yang berani membenarkan bahwa itu bukanlah pipa?. Adakah orang yang mempertanyakan kebenaran realitasnya, tentu tidak ada. Inilah tujuan dari René Magritte. Lukisan The Treachery of Images akan mempertanyakan otoritas gambar dan kata-kata. Pada awalnya lukisan itu menerima banyak kritik dari kritikus seni. Tentu saja ini akibat dari eksperimen gaya impresionis pada lukisan-lukisan yang Ia hasilkan. Secara filosofi The Treachery of Images mempunyai kesinambungan makna dengan karya René Magritte yang lain yakni Philosopher’s lamp. 

Philosopher’s lamp adalah salah satu dari karya spektakuler lainnya dari René Magritte. Lukisan dengan goresan cat minyak tersebut berhasil diselesaikan pada tahun 1936. Philosopher’s lamp merupakan potret diri seorang pria pertengahan usia paruh baya. Seorang pria yang menghisap cerutu dengan hidung besarnya yang menonjol. Tidak ketinggalan sebuah lilin meliuk tidak karuan digambarkan layaknya seekor ular menjadi pendukung latar suasana. Selain itu tatapan sendu dari pria tersebut berhasil membuat siapapun yang melihat merasakan emosi terpendamnya. Lantas apa makna tersembunyi dari Philosopher’s lamp ?. Lukisan tersebut menggambarkan seorang perasaan seorang pria tentang kecanduannya terhadap rokok yang Ia hisap. Pria tersebut sadar akan dirinya yang telah kecanduan, namun Ia juga sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa tentang kecanduan yang Ia sadari tersebut. Peran dari lilin yang dramatis memberi kesan antara realita dan mimpi yang berdampingan. Dapat dikatakan bahwa René Magritte ingin mengungkap cara berpikirnya melalui lilin. Dia ingin bangun dari mimpinya dan hidup di realita, oleh karena itu Ia membakar lilin tersebut. Poin ini semakin menjelaskan kebingungan penikmat seni tentang absurdnya gambar pria tengah paruh baya tersebut. Dimana seseorang yang sadar akan kekurangan dirinya sendiri lantas bagaimana Ia mengungkapkan keinginan terdalamnya untuk berubah menjadi lebih baik. 

Dari dua karya terkenal René Magritte dapat dilihat kesinambungan makna terpendam dalam sebuah lukisan. Lukisan hanya sekedar lukisan tanpa makna jika penonton tidak berhasil menguak misteri di dalamnya. Melalui goresan demi goresan René Magritte berhasil memberikan filosofi eksplisit yang amat dalam. Tidak mudah bagi setiap pribadi individu mengutarakan apa yang mereka rasakan dan apa yang ada dipikiran mereka. Karena terkadang keberanian yang telah kita usahakan untuk berterus terang melalui kata-kata sering diabaikan bahkan disalahpahami. Menurut pribadi penulis, surealisme benar adanya tentang menjadi wadah ekspresi diri yang sebenar-benarnya. Kebebasan yang ditawarkan surealisme menjadi solusi bagi kami untuk tidak lagi bungkam dengan fenomena-fenomena hidup baik pengalaman pribadi maupun isu sosial sekitar. Kekuatan kata-kata yang selalu diagungkan masih bisa diimbangi dengan goresan tinta di atas kanvas yang tentunya bisa lebih menyayat pula. Seni adalah kebebasan. Seni yang mengekang bukanlah seni yang sejati. Untuk itu surealisme menjadi kritik bagi kaum borjuis maupun bangsawan yang menganggap seni itu harus sempurna. Bagi mereka seni hanyalah tentang keindahan dan bagaimana kedinamisan suatu objek digambarkan. Mereka yang menolak adanya ketidaksempurnaan hanyalah orang dungu yang tidak mau mengakui kebenaran. Persepsi kuno inilah yang membuat mereka hanya hidup di horison kenyamanan semata. 

Penulis    : Singgang Muryani

Editor      : Tim Half-Blood French


Sumber : 

Motherwell, Robert (1951). The Dada Painters and Poets; an anthology. New York: Wittenborn, Schultz.

Britannica, The Editors of Encyclopaedia. "Surrealism". Encyclopedia Britannica, 18 Oct. 2022, https://www.britannica.com/art/Surrealism. Accessed 27 November 2022.

Commentaires

Enregistrer un commentaire

Posts les plus consultés de ce blog

Écriture Féminine dan Pengaruhnya di Prancis

Pemaknaan Aliran Absurdisme dalam Buku L’Étranger karya Albert Camus